BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Demam tifoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya
terjadi di negara yang sedang berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas
dan kekurangan air bersih yang dapat diminum.
Diagnose dari pelubangan penyakit tipus dapat sangat berbahaya apabila
terjadi selama kehamilan atau pada periode setelah melahirkan. Kebanyakan
penyebaran penyakit demam tifoid ini tertular pada manusia pada daerah – daerah
berkembang, ini dikarenakan pelayanan kesehatan yang belum baik, hygiene
personal yang buruk. Salah satu contoh yaitu di Negara Nigeria, dimana terdapat
467 kasus dari tahun 1996 sampai dengan 2000.
Pada beberapa dekade
terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun
tetap menjadi masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti
bekas negara Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan
Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu
diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian
itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.
Demam tifoid merupakan
masalah global terutama di negara dengan higiene buruk. Etiologi utama di
Indonesia adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi
(S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A (S.
Paratyphi A). CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai
358-810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada
usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasiantara 3,1 – 10,4 % pada pasien
rawat inap.
Dua dekade belakangan
ini, dunia digemparkan dengan adanya laporan Multi Drug Resistant (MDR)
strains S.Typhi. strain ini resisten dengan kloramfenikol,
trimetropim-sulfametoksazol, dan ampicillin. Selain itu strain ressisten asam
nalidixat juga menunjakan penurunan pengaruh ciprofloksasin yang menjadi
endemik di India. United State, United Kingdom dan juga beberapa negara
berkembang pada tahun 1997 menunjukan kedaruratan masalah globat akibat MDR.
Morbiditas di seluruh
dunia, setidaknya 17 juta kasus baru dan hingga 600.000 kematian dilaporkan
tiap tahunnya. Di negara berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/ juta
populasi/ tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000 kasus/ juta populasi/ tahun di
beberapa negara Asia. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika Utara, yaitu
sekitar 400 kasus dilaporkan tiap tahun di United State, 70% terjadi pada turis
yang berkunjung ke negara endemis. Di United Kingdom, insiden dilaporkan hanya
1 dalam 100.000 populasi.
Di Indonesia, demam
tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang
dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Di seluruh
dunia WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat lebih dari 21,65 juta
penderita demam tifoid dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal . Di
Indonesia selama tahun 2006, demam tifoid dan demam paratifoid merupakan
penyebab morbiditas peringkat 3 setelah diare dan Demam Berdarah Dengue.
Kejadian demam tifoid
meningkat terutama pada musim hujan.Usia penderita di Indonesia (daerah
endemis) antara 3-19 tahun (prevalensi 91% kasus). Dari presentase tersebut,
jelas bahwa anak-anak sangat rentan untuk mengalami demam tifoid. Demam tifoid
sebenarnya dapat menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak
usia lebih dari 5 tahun. Itulah sebabnya demam tifoid merupakan salah satu
penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya
dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan
lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
Perlu penanganan yang
tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan yang tepat terhadap
pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun perlu juga asuhan
keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat
mempercepat proses penyembuhan pasien dengan demam tifoid.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian demam tifoid?
2. Apa
saja penyebab demam tifoid?
3.
Bagaimana gejala dan tanda demam tifoid?
4.
Bagaimana patogenesis demam tifoid?
5.
Bagaimana maanifestasi klinis dari demam tifoid?
6.
Komplikasi apa saja yang terjadi pada penderita demam
tifoid?
7.
Bagaimana diagnosis yang dilakukan untuk penderita
demam tifoid?
8.
Bagaimana penanganan atau pencegahan demam tifoid?
9.
Bagaimana pengobatan demam tifoid?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian demam tifoid
2.
Untuk mengetahui apa saja penyebab dari demam tifoid
3.
Untuk mengetahui gejaladan tanda yang terjadi pada demam tifoid
4.
Untuk mengetahui patogenesis demam tifoid
5.
Untuk mengetahui manifestasi klinis dari demam tifoid
6.
Untuk mengetahui komplikasi yang disebabkan oleh demam
tifoid
7.
Untuk mengetahuipemeriksaan apa saja yang baik untuk
penderita demam tifoid
8.
Untuk mengetahui pencegahan atau penanganan demam
tifoid
9.
Untuk mengetahui cara pengobatan yang dapat dilakukan
pada penderita demam tifoid
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus,
merupakan penyakit infeksi akut oleh kuman Salmonela typhi yang menyerang
saluran pencernaan. Penyakit demam tifoid ini masih banyak dijumpai di negara
berkembang seperti di beberapa negara Asia Tenggara dan Afrika, terutama di
daerah yang kebersihan dan kesehatan lingkungannya kurang memadai. Di
Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik (penyakit yang terdapat
sepanjang tahun) dan menduduki peringkat kedua setelah diare. Demam tifoid
sebenarnya dapat menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak
usia lebih dari 5 tahun. Itulah sebabnya demam tifoid merupakan salah satu
penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya
dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan
lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
2.2 Penyebab
Demam Tifoid
Kuman salmonela masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang
tercemar, baik pada waktu memasak atau pun melalui tangan dan alat masak yang
kurang bersih. Bersama makanan itu, kuman salmonela akan diserap oleh usus
halus dan menyebar ke semua alat tubuh terutama hati dan limpa, sehingga
membengkak dan nyeri. Kuman ini akan meneruskan perjalannya masuk peredaran
darah dan masuk ke dalam kelenjar limfe, terutama di usus halus. Nah, di dalam
dinding usus ini Salmonela membuat luka atau bahasa medisnya tukak berbentuk
lonjong.
Tukak tersebut suatu saat dapat menimbulkan perdarahan atau robekan
sehingga terjadi penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Kalau sudah parah
maka perlu tindakan operasi untuk mengobatinya. Tak jarang hal ini dapat
menimbulkan kematian. Selain itu, kuman salmonela yang masuk ke dalam tubuh
juga mengeluarkan toksin (racun) yang akan menimbulkan gejala demam pada
penderita.
2.3 Gejala dan Tanda Demam Tifoid
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan
atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus.
Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa
sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Gejala
klinis demam tifoid pada anak dapat bervariasi dari yang ringan hingga yang
berat. Biasanya gejala pada orang dewasa akan lebih ringan dibanding pada
anak-anak. Kuman yang masuk ke dalam tubuh anak, tidak segera menimbulkan
gejala. Biasanya memerlukan masa tunas sekitar 7-14 hari. Masa tunas ini lebih
cepat bila kuman tersebut masuk melalui makanan, dibanding melalui minuman.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis
yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda
dan gejala yang ditimbulkan antara lain :
- Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
- Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
- Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
- Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
- Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
- Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.
2.4 Patogenesis
Demam Tifoid
Kuman Salmonella Typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri
di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi
kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar
limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati
kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui duktus thoracicus.
Kuman salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.
Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain
sistem retikuloendotelial.
|
2.5
Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa
panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang
berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain,
ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau
perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran
klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan
gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam
dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada S. typhi. Sifat demam
juga muncul saat sore menjelang malam hari. Menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu
penderita. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.
typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan
85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala
klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri
perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan
fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta
lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).
Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%),
sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%),
mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah
disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan
pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal. Angka kejadian komplikasi
adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%),
pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).
2.6
Komplikasi Demam Tifoid
Sebagian
besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi,
terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat :
·
Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus;
sekitar 2% mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada
minggu ketiga.
·
Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan
menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut
(peritonitis).
·
Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga
dan biasanya terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga
bisa menyebabkan pneumonia).
·
Infeksi kandung kemih dan hati.
·
Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan
terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup jantung
(endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal
(glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
2.7 Diagnosis
Demam Tifoid
Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.
Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan
darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3)
uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada
penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah
tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan
hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),
leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).
2. Identifikasi Kuman
Melalui Isolasi atau Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka
bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini
juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah.
Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang
lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media
pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall)
dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S.
paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80%
atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada
akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95%
kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada
fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur
terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak
praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam
pelayanan penderita.
. 3. Identifikasi Melalui Uji Serologis
Uji
serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme
immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi
antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen
(stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
3.1 Uji Widal
Uji
Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan
secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi
hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40
dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar
99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil
biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74%
dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran
imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor
antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah
digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di
populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh
Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal
dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
3.2 Tes TUBEX®
Tes
TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX®
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian
oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar
89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.
3.3 Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji
serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara
kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M®
yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%,
nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar
91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang
bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan
bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut
yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga
dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
3.4 Metode Enzyme-Linked Immunosorbent (ELISA)
Uji
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG,
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis
adalah double antibody sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada
sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel
urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel
dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing
44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi
urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup
menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
3.5 Pemeriksaan Dipstik
Uji
serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%
bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan
dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi
positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
4. Identifikasi Kuman Secara
Molekuler
Metode
lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S.
typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%
dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh
Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan
kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang
sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi
yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian.
2.8 Pencegahan
Demam Tifoid
Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat
tidak tertular oleh bakteri Salmonella. Pencegahan dilakukan secara umum dan
khusus/imunisasi. Demam tifoid dapat dicegah dengan kebersihan pribadi dan
kebersihan lingkungan. Beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid
secara umum diantaranya:
- Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air. - Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi. - Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. - Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Pusat
control penyakit dan pencegahan telah menidentifikasi imunisasi menjadi a genda
penting bagi Negara berkembang yang menjadi tempat berkembang salmonella thypi. Vaksin ini berlandaskan identifikasi gen bakteri dan
mekanisme imunologi dari daya tahan ke penyakit. Penggunaan vaksin ini
merupakan pencegahan khusus yang dilakukan oleh negara Indonesia, untuk
menanggulangi terjadinya demam tifoid pada anak, sehingga anak menjadi memiliki
kekebalakn tubuh yang baik, meskipun kadang dirasakan efek sampingnya. Namun
hal ini sangat lah baik untuk dilakukan guna meningkatkan kesehatan masyarakat
di Indonesia terutama pada anak-anak. Vaksin ini sering dilakukan pada
anak-anak dengan rentang waktu tertentu serta komposisi tertentu sesuai dengan
usia pada anak tersebut.
Ada tiga
macam vaksin untuk melawan tifoid ini, yaitu:
No.
|
Tipe Vaksin
|
Komposisi
|
Dosis
|
Keberhasilan (%)
|
Efek Samping
|
1.
|
parenteral
vaksin sel tak aktif
|
Tersusun
atas zat asan karbol panas sel vaksin yang tidak aktif
|
60-67%
|
Reaksi
local yang berat
|
|
2.
|
Parenteral
Capsular
poly
accharide
vaccine Vi
[ViCPs]
|
Natibodi
virulensi berupa butir polysaccharide
|
Sekali
suntikan 25 mcg (0,5 ml)
|
63-72%
|
-sakit
pada daerah tusukan
- demam
(3%)
-tidak
enak badan
-muntah
|
3.
|
Vaksin
hidup yang diperlemah (Ty21a vaksin)
|
S.thypi hidup yang diperlemah
|
3-4 kapsul
|
60-90%
|
-sakit
pada abdomen
- mual
- muntah
- diare
- ruam
|
Pencegahan yang
dilakukan pada pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
1.
Sering cuci
tangan anda.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
2.
Bersihkan alat
rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
3.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
4.
Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.
2.9 Pengobatan
Demam Tifoid
Tujuan dari perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit tifoid
atau types adalah untuk menghentikan invasi kuman, mencegah terjadinya
komplikasi, memperpendek perjalanan penyakit, serta mencegah agar tak kambuh
lagi. Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit tyfus ini dengan jalan
mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine
untuk mencegah penularan. Selama tiga hari pasien harus berbaring di tempat
tidur hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing, Anda
dapat memberikan obat paracetamol. Sedangkan pada anak yang mengalami demam
tifoid maka pilihan antibiotika yang baik adalah kloramfenikol selama 10 hari.
Sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk menentukan obat yang baik untuk
mengatasi demam tifoid. Selain dengan obat-obatan juga ada cara tradisional
untuk menyembuhkan penyakit typus yaitu dengan menggunakan tanaman obat
yang bisa kita jumpai di lingkungan kita.
1. penyembuhan
penyakit typus dengan sambiloto (andrographis paniculata)
Fungsi dari
tanaman ini adalah untuk menurunkan panas atau demam, fungsi lain untuk
antiracun dan antibengkak. Cukup efektif untuk meningkatkan kekebalan tubuh,
serta mengatasi infeksi dan merangsang phagocytosis. Bagian dari tanaman ini
dapat diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Untuk penggunaannya : 1 jam sebelum
makan 3 x 1 kapsul (pagi, siang, sore).
2.
Penyembuhan penyakit typus dengan bidara upas (merremia mammosa)
Tanaman ini
digunakan untuk mengurangi rasa sakit (analgesic), menetralkan racun dan
sebagai anti radang. Olah bagian dari tanaman ini dalam bentuk kapsul.
Pemakainnya sendiri : 3 x 1 kapsul/hari.
3.
Menyembuhkan penyakit Typus dengan Rumput Mutiara
Tanaman ini
sangat berguna untuk menghilangkan rasa panas dan anti radang, selain itu juga
sangat bermanfaat untuk mengaktifkan peredaran darah. Olah juga bagian tanaman
ini menjadi kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1 kapsul/hari.
4.
Menyembuhkan penyakit Typus dengan Temulawak
Sifat dari
tanaman ini adalah bakteriostatik dan bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan
tubuh serta antiflasma atau pembengkakan. Olah bagian tanaman ini dalam bentuk
kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1 kapsul/hari.
Obat-obatan yang dipakai untuk penyakit demam
tifoid adalah :
1. Antibiotik
Demam tifoid disebabkan
oleh infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga memerlukan antibiotik.
Antibiotik lini pertama adalah chloramphenicol, amoxicillin, atau
cotrimoxazole. Antibiotik lini kedua adalah golongan fluoroquinolone
(ofloxacin, ciprofloxacin) atau golongan cephalosporine (ceftriaxone, cefixime,
atau cefotaxime). Lama pemberian antibiotik adalah 7-14 hari. Tirah baring
selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Dengan antibiotik yang
tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Antibiotik yang banyak
digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10
hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias diberikan
bila jumlah leukosit < 2000 ul. Bila pasien alergi, dapat diberikan golongan
penisilin atau kotrimoksazol.
2. Penurun panas
Penurun panas yang sering
diberikan adalah paracetamol.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan
pada demam tifoid berat.
4. Diet lunak rendah serat, dan makan makanan bergizi Penderita
penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk
diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :
- Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
- Tidak mengandung banyak serat.
- Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
- Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Untuk kembali ke makanan
"normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi.
Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan
seterusnya.
5. Pemberian cairan yang
cukup untuk mencegah dehidrasi
Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna
makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum
luas (karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan
mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian
usus yang mengalami perforasi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demam tifoid
adalah suatu infeksi akut pada usus
kecil yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia penderita
demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800/100.000 penduduk per tahun, tersebar
dimana-mana, dan ditemukan hamper sepanjang tahun.
Demam tifoid
dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,
umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting melakukan pengenalan
dini demam tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama : Demam yang berkepanjangan
(lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat / kesadaran.
3.2 Saran
Dari
uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan saran untuk
selalu menjaga kebersih lingkungan , makanan yang dikonsumsi harus higiene dan
perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar