Jumat, 21 Desember 2012

MAKALAH DEMAM THYPOID



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Demam tifoid  menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi di negara yang sedang berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas dan kekurangan air bersih yang dapat diminum.  Diagnose dari pelubangan penyakit tipus dapat sangat berbahaya apabila terjadi selama kehamilan atau pada periode setelah melahirkan. Kebanyakan penyebaran penyakit demam tifoid ini tertular pada manusia pada daerah – daerah berkembang, ini dikarenakan pelayanan kesehatan yang belum baik, hygiene personal yang buruk. Salah satu contoh yaitu di Negara Nigeria, dimana terdapat 467 kasus dari tahun 1996 sampai dengan 2000.
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti bekas negara Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene buruk. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasiantara 3,1 – 10,4 % pada pasien rawat inap.
Dua dekade belakangan ini, dunia digemparkan dengan adanya laporan Multi Drug Resistant (MDR) strains S.Typhi. strain ini resisten dengan kloramfenikol, trimetropim-sulfametoksazol, dan ampicillin. Selain itu strain ressisten asam nalidixat juga menunjakan penurunan pengaruh ciprofloksasin yang menjadi endemik di India. United State, United Kingdom dan juga beberapa negara berkembang pada tahun 1997 menunjukan kedaruratan masalah globat akibat MDR.
Morbiditas di seluruh dunia, setidaknya 17 juta kasus baru dan hingga 600.000 kematian dilaporkan tiap tahunnya. Di negara berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/ juta populasi/ tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000 kasus/ juta populasi/ tahun di beberapa negara Asia. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika Utara, yaitu sekitar 400 kasus dilaporkan tiap tahun di United State, 70% terjadi pada turis yang berkunjung ke negara endemis. Di United Kingdom, insiden dilaporkan hanya 1 dalam 100.000 populasi.
Di Indonesia, demam tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Di seluruh dunia WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita demam tifoid dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal . Di Indonesia selama tahun 2006, demam tifoid dan demam paratifoid merupakan penyebab morbiditas peringkat 3 setelah diare dan Demam Berdarah Dengue.
Kejadian demam tifoid meningkat terutama pada musim hujan.Usia penderita di Indonesia (daerah endemis) antara 3-19 tahun (prevalensi 91% kasus). Dari presentase tersebut, jelas bahwa anak-anak sangat rentan untuk mengalami demam tifoid. Demam tifoid sebenarnya dapat menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia lebih dari 5 tahun. Itulah sebabnya demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan yang tepat terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien dengan demam tifoid.

1.2  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian demam tifoid?
2.    Apa saja penyebab demam tifoid?
3.    Bagaimana gejala dan tanda demam tifoid?
4.    Bagaimana patogenesis demam tifoid?
5.    Bagaimana maanifestasi klinis dari demam tifoid?
6.    Komplikasi apa saja yang terjadi pada penderita demam tifoid?
7.    Bagaimana diagnosis yang dilakukan untuk penderita demam tifoid?
8.    Bagaimana penanganan atau pencegahan demam tifoid?
9.    Bagaimana pengobatan demam tifoid?

1.3 Tujuan Penulisan

1.    Untuk mengetahui pengertian demam tifoid
2.    Untuk mengetahui apa saja penyebab dari demam tifoid
3.    Untuk mengetahui gejaladan tanda  yang terjadi pada demam tifoid
4.    Untuk mengetahui patogenesis demam tifoid
5.    Untuk mengetahui manifestasi klinis dari demam tifoid
6.    Untuk mengetahui komplikasi yang disebabkan oleh demam tifoid
7.    Untuk mengetahuipemeriksaan apa saja yang baik untuk penderita demam tifoid
8.    Untuk mengetahui pencegahan atau penanganan demam tifoid
9.    Untuk mengetahui cara pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita demam tifoid





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus, merupakan penyakit infeksi  akut oleh kuman Salmonela typhi yang menyerang saluran pencernaan. Penyakit demam tifoid ini masih banyak dijumpai di negara berkembang seperti di beberapa negara Asia Tenggara dan Afrika, terutama di daerah yang kebersihan dan kesehatan lingkungannya kurang memadai. Di Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik (penyakit yang terdapat sepanjang tahun) dan menduduki peringkat kedua setelah diare. Demam tifoid sebenarnya dapat menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia lebih dari 5 tahun. Itulah sebabnya demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.

2.2 Penyebab Demam Tifoid


Kuman salmonela masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar, baik pada waktu memasak atau pun melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih. Bersama makanan itu, kuman salmonela akan diserap oleh usus halus dan menyebar ke semua alat tubuh terutama hati dan limpa, sehingga membengkak dan nyeri. Kuman ini akan meneruskan perjalannya masuk peredaran darah dan masuk ke dalam kelenjar limfe, terutama di usus halus. Nah, di dalam dinding usus ini Salmonela membuat luka atau bahasa medisnya tukak berbentuk lonjong.
Tukak tersebut suatu saat dapat menimbulkan perdarahan atau robekan sehingga terjadi penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Kalau sudah parah maka perlu tindakan operasi untuk mengobatinya. Tak jarang hal ini dapat menimbulkan kematian. Selain itu, kuman salmonela yang masuk ke dalam tubuh juga mengeluarkan toksin (racun) yang akan menimbulkan gejala demam pada penderita.

2.3 Gejala dan Tanda Demam Tifoid
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Gejala klinis demam tifoid pada anak dapat bervariasi dari yang ringan hingga yang berat. Biasanya gejala pada orang dewasa akan lebih ringan dibanding pada anak-anak. Kuman yang masuk ke dalam tubuh anak, tidak segera menimbulkan gejala. Biasanya memerlukan masa tunas sekitar 7-14 hari. Masa tunas ini lebih cepat bila kuman tersebut masuk melalui makanan, dibanding melalui minuman.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain :
  1. Demam  lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
  2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
  3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
  4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
  5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
  6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.


2.4 Patogenesis Demam Tifoid
Kuman Salmonella Typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui duktus thoracicus. Kuman salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.

2.5 Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
  Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Sifat demam juga muncul saat sore menjelang malam hari. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal. Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).

2.6 Komplikasi Demam Tifoid
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat :
·       Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus; sekitar 2% mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.
·       Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis).
·       Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga dan biasanya terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga bisa menyebabkan pneumonia).
·       Infeksi kandung kemih dan hati.
·       Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup jantung (endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
2.7 Diagnosis Demam Tifoid
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
1. Pemeriksaan Darah Tepi

            Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. 
            Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).

2. Identifikasi Kuman Melalui  Isolasi  atau Biakan

            Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
            Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.  Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.  
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.  
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

. 3. Identifikasi Melalui Uji Serologis
            Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 

3.1 Uji Widal
            Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. 
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
            Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
           
 3.2 Tes TUBEX®
            Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat  dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

 3.3 Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
            Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
  Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 

 3.4 Metode  Enzyme-Linked Immunosorbent (ELISA)
            Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. 
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 

       3.5 Pemeriksaan Dipstik
            Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 
            Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler
            Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
            Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang  menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

2.8 Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh bakteri Salmonella. Pencegahan dilakukan secara umum dan khusus/imunisasi. Demam tifoid dapat dicegah dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. Beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid secara umum diantaranya:
  1. Cuci tangan.
    Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya
    . Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
  2. Hindari minum air yang tidak dimasak.
    Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
  3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
    Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
  4. Pilih makanan yang masih panas.
    Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Pusat control penyakit dan pencegahan telah menidentifikasi imunisasi menjadi a genda penting bagi Negara berkembang yang menjadi tempat berkembang salmonella thypi. Vaksin ini berlandaskan identifikasi gen bakteri dan mekanisme imunologi dari daya tahan ke penyakit. Penggunaan vaksin ini merupakan pencegahan khusus yang dilakukan oleh negara Indonesia, untuk menanggulangi terjadinya demam tifoid pada anak, sehingga anak menjadi memiliki kekebalakn tubuh yang baik, meskipun kadang dirasakan efek sampingnya. Namun hal ini sangat lah baik untuk dilakukan guna meningkatkan kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada anak-anak. Vaksin ini sering dilakukan pada anak-anak dengan rentang waktu tertentu serta komposisi tertentu sesuai dengan usia pada anak tersebut.

Ada tiga macam vaksin untuk melawan tifoid ini, yaitu:
No.
Tipe Vaksin
Komposisi
Dosis
Keberhasilan (%)
Efek Samping
1.
parenteral vaksin sel tak aktif
Tersusun atas zat asan karbol panas sel vaksin yang tidak aktif

60-67%
Reaksi local yang berat
2.
Parenteral
Capsular poly
accharide
vaccine Vi
[ViCPs]
Natibodi virulensi berupa butir polysaccharide
Sekali suntikan 25 mcg (0,5 ml)
63-72%
-sakit pada daerah tusukan
- demam (3%)
-tidak enak badan
-muntah
3.
Vaksin hidup yang diperlemah (Ty21a vaksin)
S.thypi hidup yang diperlemah
3-4 kapsul
60-90%
-sakit pada      abdomen
- mual
- muntah
- diare
- ruam

Pencegahan yang dilakukan pada pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
1.     Sering cuci tangan anda.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
2.     Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
3.     Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
4.     Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

2.9 Pengobatan Demam Tifoid
Tujuan dari perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit tifoid atau types adalah untuk menghentikan invasi kuman, mencegah terjadinya komplikasi, memperpendek perjalanan penyakit, serta mencegah agar tak kambuh lagi. Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit tyfus ini dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Selama tiga hari pasien harus berbaring di tempat tidur hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing, Anda dapat memberikan obat paracetamol. Sedangkan pada anak yang mengalami demam tifoid maka pilihan antibiotika yang baik adalah kloramfenikol selama 10 hari. Sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk menentukan obat yang baik untuk mengatasi demam tifoid. Selain dengan obat-obatan juga ada cara tradisional untuk menyembuhkan penyakit typus yaitu dengan menggunakan tanaman obat yang bisa kita jumpai di lingkungan kita.
1. penyembuhan penyakit typus dengan sambiloto (andrographis paniculata)
Fungsi dari tanaman ini adalah untuk menurunkan panas atau demam, fungsi lain untuk antiracun dan antibengkak. Cukup efektif untuk meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengatasi infeksi dan merangsang phagocytosis. Bagian dari tanaman ini dapat diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Untuk penggunaannya : 1 jam sebelum makan 3 x 1 kapsul (pagi, siang, sore).
2. Penyembuhan penyakit typus dengan bidara upas (merremia mammosa)
Tanaman ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit (analgesic), menetralkan racun dan sebagai anti radang. Olah bagian dari tanaman ini dalam bentuk kapsul. Pemakainnya sendiri : 3 x 1 kapsul/hari.
3. Menyembuhkan penyakit Typus dengan Rumput Mutiara
Tanaman ini sangat berguna untuk menghilangkan rasa panas dan anti radang, selain itu juga sangat bermanfaat untuk mengaktifkan peredaran darah. Olah juga bagian tanaman ini menjadi kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1 kapsul/hari.
4. Menyembuhkan penyakit Typus dengan Temulawak
Sifat dari tanaman ini adalah bakteriostatik dan bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta antiflasma atau pembengkakan. Olah bagian tanaman ini dalam bentuk kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1 kapsul/hari.
Obat-obatan yang dipakai untuk penyakit demam tifoid adalah :
1. Antibiotik
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga memerlukan antibiotik. Antibiotik lini pertama adalah chloramphenicol, amoxicillin, atau cotrimoxazole. Antibiotik lini kedua adalah golongan fluoroquinolone (ofloxacin, ciprofloxacin) atau golongan cephalosporine (ceftriaxone, cefixime, atau cefotaxime). Lama pemberian antibiotik adalah 7-14 hari. Tirah baring selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias diberikan bila jumlah leukosit < 2000 ul. Bila pasien alergi, dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimoksazol.
2. Penurun panas
Penurun panas yang sering diberikan adalah paracetamol.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada demam tifoid berat.
4. Diet lunak rendah serat, dan makan makanan bergizi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :
  1. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
  2. Tidak mengandung banyak serat.
  3. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
  4. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya.
5. Pemberian cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi
Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.
                                              


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu  infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800/100.000 penduduk per tahun, tersebar dimana-mana, dan ditemukan hamper sepanjang tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting melakukan pengenalan dini demam tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama : Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat / kesadaran.

3.2 Saran
Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan saran untuk selalu menjaga kebersih lingkungan , makanan yang dikonsumsi harus higiene dan perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid.

 DAFTAR PUSTAKA

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar